Perundungan Anak, Sebuah Pisau Bermata Dua | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Jumat, 12 April 2019

Perundungan Anak, Sebuah Pisau Bermata Dua

WAJAH anak itu kosong, hampa. Dia hanya duduk bersandar pada ayahnya dan sebentar-sebentar jatuh tertidur. Sepertinya tidur merupakan salah satu cara baginya untuk melarikan diri dari dunia yang begitu kejam pada tubuh kecilnya.

Tangannya menggenggam erat ujung baju sang ayah seolah mencari kekuatan yang bisa membantunya melawan rasa sakit dan perih tak terperi. Ayahnya berujar lelah, “dia tidur terus bu. Makan juga susah. Tidur terus menerus."

Saya yang duduk satu meter di hadapannya berusaha menahan gelombang perasaan yang menggedor-gedor keluar. Saya ingin menangis tapi tugas tidak memperbolehkan saya untuk itu. Polisi yang sedari tadi sibuk mengetik berita acara menatap saya sejenak, lalu bertanya, “kita lanjutkan apa tidak bu?”

Dengan berat hati saya mengangguk. Pelan-pelan sang polisi kembali menanyai si gadis kecil. Tapi ia menolak menjawab. Menutup mata. Tidur.

Peristiwa itu terjadi hampir 10 tahun yang lalu saat saya mendampingi seorang gadis kecil usia lima tahun korban perkosaan di sebuah kota kecil di Kalimantan. Tapi wajah hampa si gadis cilik tak pernah bisa saya lupakan. Poninya yang berantakan menutup dahi, bajunya yang lusuh, dan wajah si ayah yang letih.

Setiap peristiwa yang menimpa anak-anak selalu mampu memantik rasa iba. Kekerasan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak membuat kita bertanya-tanya, manusia macam apa mereka itu hingga begitu tega pada jiwa-jiwa polos yang baru mengenal dunia.

Orang dewasa seyogyanya sudah mampu menakar bahwa kekerasan yang mereka lakukan akan membuat mereka berhadapan pada pedang tajam hukum. Tapi bagaimana jika yang melakukan kekerasan tersebut adalah sesama anak-anak?

Peristiwa perundungan yang terjadi baru-baru ini menyesakkan dada siapapun. Masyarakat yang awalnya mengetahui melalui media sosial serentak melayangkan rasa iba, sedih, marah, bahkan tak sedikit yang menghujankan makian kepada para pelaku yang notabene masih di bawah umur.

Terlebih ketika beredar video yang mempertontonkan para pelaku tersenyum saat berada di kantor polisi dan adanya dugaan bahwa keadilan tidak akan tercapai karena adanya kemungkinan perdamaian. Kemarahan masyarakat menjadi semakin tak terbendung dan tagar yang menuntut keadilan bagi korban segera berkumandang.

Sebenarnya bagaimana hukum memandang hal ini? Indonesia memiliki seperangkat aturan hukum yang disusun untuk melindungi anak yang berhadapan dengan hukum, yakni Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah beberapa kali mengalami perubahan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Anak yang berhadapan dengan hukum sendiri adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Untuk dapat dikategorikan sebagai anak, seseorang haruslah belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Hukum menerapkan perlakuan yang berbeda terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Orang dewasa yang melakukan kekerasan terhadap anak diganjar dengan pemberatan pidana, akan tetapi bagaimana dengan anak sebagai pelaku? Asas sistem peradilan pidana anak antara lain adalah pengupayaan kepentingan terbaik bagi anak.

Yang paling menonjol dari semua upaya tersebut adalah pengutamaan keadilan restorasi bagi anak dengan diupayakannya diversi yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Tapi, kita tentu tidak boleh melupakan bahwa salah satu tujuan hukum adalah tercapainya rasa keadilan masyarakat. Dalam kasus yang baru saja terjadi, sangat pelik jika perspektif yang dipakai adalah hanya melindungi pelaku sebagai anak dan mengesampingkan retaknya jiwa AU sebagai korban. Korban harus dibantu agar dapat pulih dari trauma fisik dan psikis yang ia derita. 

Tercapainya keadilan yang meletakkan kepentingan korban sebagai hal utama akan sangat membantu proses tersebut.

Dalam jangkauan yang lebih luas, hal tersebut akan membantu masyarakat untuk memulihkan kembali kepercayaan terhadap hukum. 
Sebagaimana judul di atas, kekerasan yang dilakukan oleh anak terhadap anak lain adalah ibarat pisau  bermata dua. Ia tidak hanya melukai korban, tapi juga para pelaku.

Sebagai anak, para pelaku tak dapat dipungkiri ikut meniru dramaturgi kekerasan yang vulgar dipertontonkan oleh orang dewasa setiap harinya. Sinetron yang tidak mendidik yang mengajarkan bahwa mereka yang kaya dan elok bebas melakukan penindasan pada mereka yang jauh dari sorot lampu kepopuleran, komedi-komedi yang penuh dengan slapstick, cercaan antara so-called cebong kampret di dunia politik, sampai pada hal-hal yang tidak kita sadari memicu kesadaran pada anak bahwa kekerasan adalah sesuatu yang biasa seperti menganggap bahwa golongan sendiri adalah paling benar, dan yang lainnya salah dan pasti masuk neraka.

Selanjutnya, marilah kita sebagai orang dewasa membantu anak-anak kita dengan menghentikan siklus kekerasan ini. Kampanye “Stop Bullying” harus dilaksanakan semakin gencar dengan kehadiran negara secara penuh. Perangkat hukum, masyarakat, sekolah, serta orang tua harus bekerjasama dan saling bahu membahu demi menciptakan lingkungan yang aman dan ramah terhadap anak-anak. (*)
___________
Oleh:
Lena Hanifah, SH, LLM
Dosen FH Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Aktivis Perempuan dan Perlindungan Anak


Posting Komentar

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner