Save Gandut ! Kesenian Khas Pahuluan yang Mulai Ditinggalkan | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Kamis, 08 Maret 2018

Save Gandut ! Kesenian Khas Pahuluan yang Mulai Ditinggalkan

Save Gandut ! Kesenian Khas Pahuluan yang Mulai Ditinggalkan
BBCom, Oleh Novyandi Saputra, S.Pd., M. Sn.*)
Novyandi Saputra/beritabanjarmasin.com
Mandung-mandung 
Ari pang mandung sayang angin manyapu... 
(Penggalan teks lagu Mandung-mandung) 

Siapapun yang mendengar lagu ini, apalagi dia orang pahuluan (merujuk pada daerah hulu di Kalimantan Selatan, terdiri dari enam kabupaten: Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong-red) maka fikirannya pasti langsung tertuju pada kesenian Gandut. Sebuah kesenian yang menjadi pusat berkumpulnya pemuda-pemudi Banjar beradu kepiawaian menari dan terkadang juga beradu keahlian bermain pencak silat kuntau. 

Puluhan tahun yang lalu masyarakat di pahuluan mengenal sebuah kesenian yang menjadi wadah ekpresi diri, hiburan, bahkan sampai persoalan mencari jodoh. Kesenian yang sangat kuat dimensi kebersamaan ini bernama Gandut. 

Kesenian ekspresif ini menghadirkan beberapa panggandutan (penari perempuan-red) yang tidak hanya lihai menari namun juga mahir kuntau. Tari-tari gandut seperti tirik, lalan, mandung-mandung dan mangandangan menjadi sarana penghubung antar panggandutan dan para lelaki yang berani turun ke sarubung (tenda tradisional masyarakat Banjar-red). Tidak sembarang lelaki yang berani turun gelanggang Gandut, karena mereka harus memiliki kemampuan menari yang mumpuni agar tidak kalah langkah dengan para panggandutan. 

Penulis pernah mengalami luka cakar dileher yang berasal dari panggandutan. lagu mandung-mandung yang sarat dengan gerak silat kuntau menjadikan keahlian penulis dan panggandutan dalam mencuri langkah akan saling memburu sehingga pada saat tikaman (gerak menyerang-red) maka yang diserang harus mampu melakukan palapasan (gerak bertahan-red) yang juga bisa membuat yang menyerang malah tersudut kalah. Hal semacam itu pernah penulis alami dalam kesenian Gandut. 

Gandut menjadi salah satu sarana pergaulan namun karena keintiman dan keleluasaan gerak yang akhirnya sangat mudah bersentuhan membuat tarian ini menjadi dipandang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Banjar yang relegius. 

Persoalan ini kemudian membuat Gandut seakan-akan perlahan divakumkan meskipun dalam beberapa kesempatan memang Gandut masih terasa nafas tersengalnya mencoba bangun dari mati surinya. 

Gandut tenggelam dalam kesan negatifnya, para pemangku kebudayaan juga seakan terdiam dan tidak mampu melihat sisi positif dari gandut ini. Praktis yang terjadi akhirnya salah satu kesenian yang menjadi harta budaya urang Banjar Pahuluan ini mulai dilupakan dan mulai tidak dianggap. Padahal Gandut bisa dipertahankan menjadi sesuatu bagian dari local wisdom urang Banjar. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana membuat Gandut bisa menjadi sesuatu yang positif ? untuk menjawab itu saya mencoba memaparkan beberapa hal sebagai sebuah dekonstruksi budaya. 

Kesan negatif yang muncul pada Gandut tentu persoalan begitu bebasnya gerak dan sentuhan antara panggandutan dan penari laki-laki yang masuk gelanggang. Persoalan ini tentu bisa diatasi dengan cara membongkar dan membentuk pemaknaan-pemaknaan baru atas kesenian gandut itu sendiri. 

Jika dulu Gandut dekat dengan hal-hal yang sensual, maka sekarang Gandut harus dibangun sebagai kesenian pergaulan yang positif disemua kalangan. Sentuhan-sentuhan "nakal" mulai dihilangkan dan diganti dengan sesuatu yang lebih memunculkan semangat pergaulan dan toleransi. meski ada perubahan makna demikian, namun jangan sampai esensi Gandut dirubah. 

Bukankah sifat kesenian yang dinamis seharusnya mampu menolong Gandut bangkit dengan pandangan baru dalam lingkup budaya Banjar. Persoalan lampau yang memunculkan stigma negatif harus dikubur dalam-dalam, biarkan tunas yang lebih positif bangkit menjadi bagian perjalan Gandut masa kini. 

Sudah terlalu banyak kesenian Banjar yang hilang tanpa ada kabar beritanya, tenggelam karena persoalan stigma yang membungkusnya. Sudah saatnya para pemangku kebudayaan, praktisi kesenian dan akademisi seni bahu-membahu menggali kembali kesenian-kesenian yang mulai terlupakan ini. 

Tentu karena kesenian yang tercipta dari kecerdasan intelektual masyarakat masa silam memiliki pesan-pesan adiluhung yang harus disampaikan dari masa ke masa. Maka sudah seharunya kesan adiluhung lebih diutamakan dari sekedar stigma-stigma negatif yang melingkupinya. 

*)Direktur NSA Project Movement 

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner