Kehidupan Manusia dalam Lukisan Rokhyat, Pelukis Kalsel yang "Disegani" di Indonesia | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Jumat, 10 Juni 2022

Kehidupan Manusia dalam Lukisan Rokhyat, Pelukis Kalsel yang "Disegani" di Indonesia

Rokhyat (kanan) bersama lukisannya. Foto: Gerall

PERBINCANGAN kami mengarah pada pergulatan, pergumulan dan berprosesnya manusia dalam menghadapi kehidupannya sendiri. Kisah kehidupan manusia yang masing-masingnya itu adalah unik, dibenturkan dengan kenyataan dan terpaan gulungan garis takdir, hampir selalu menghasilkan getarannya sendiri. Kali ini getaran itu dituangkan ke dalam kanvas. Bukankah membicarakan hidup itu sendiri kadang membuat kita tertawa, menangis bahkan tergugah? Bagaimanakah jika itu menjelma ke dalam sebuah lukisan?

SYAM INDRA PRATAMA | BANJARMASIN

Dalam sebuah pertemuan bersama sahabat seorang perupa muda, Badri Hurmansyah, ia begitu bersemangat menceritakan karya seni rupa dari seorang berdarah asli Banjar, Kalimantan Selatan yang dengan nekat masuk dalam "belantara" dunia seni di Yogyakarta. Mencurahkan totalitas--jika tak ingin disebut kenekatan--menjadi seorang seniman murni. 

Orang yang dimaksud Badri itu adalah Rokhyat, lelaki kelahiran Banjarmasin, Oktober 1965 silam. Kisah-kisah yang dirapalkan oleh Badri itu akhirnya tertuntaskan. Penulis pun bertemu dengannya, berbincang dan mencoba menyerap, mendengarkan, menekuri, jalan seninya. Kisah-kisah yang merentang dan kudengar itu mungkin hanya sebatas kisah, tapi tidak, kali ini pertemuan dengan pelukis yang disegani di kancah lukis nasional itu membuka tabir kisah itu sendiri.

Banua Banjar, Kalimantan Selatan, yang kaya dengan eksploitasi sumber daya alam secara massif, tidak kurang-kurang menjadi tempat lahir para seniman-seniman kaliber nasional-internasional. Hanya saja, nama-nama mereka jarang masuk dalam publikasi dan sorot jejaring pelantang media. 

Sebut saja maestro lukis asal Banua, Gusti Sholihin Hasan. Dalam sunyi, ia teryata orang yang sangat berpengaruh dalam kancah seni lukis Indonesia. Menjadi orang Indonesia pertama yang karyanya tembus pameran internasional di Sao Paulo, Brasil di tahun 1953 dan perintis Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang kini menjadi ISI. Masih ada nama lain, seperti Misbach Tamrin, lalu ada pelukis super realis Indonesia, M Ifansyah dari Barabai, Hulu Sungai Tengah dan termasuk Rokhyat, pelukis yang akan kita bahas dalam tulisan ini. Pelukis dengan ornamen dan gaya dekoratifnya yang simbolik dan penuh makna. Seniman murni yang sudah menghasilkan lebih dari 1.500 lukisan dalam kehidupannya.

Menurutnya, jalan menjadi seniman murni bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam hidupnya. Sama seperti keyakinannya terhadap seni sebagai ilmu pasti.

Restu Abah

Siang menjelang sore, kami bertemu di sebuah kedai kopi cukup besar di kawasan Jalan Jafri Zam-Zam Banjarmasin. Kedai kopi bergaya meksiko itu bakal menjadi wadah pameran tunggal seni rupa karya Rokhyat, Sabtu (11/6/2022). Di Mariga Koffie inilah beberapa lukisan Rokhyat berada.

Rokhyat lahir di Banjarmasin, 9 Oktober 1965. Seni lukis bukanlah sesuatu yang asing baginya sedari kecil. Ayahnya, Samson Mastur, adalah seorang pelukis yang disegani di Kalimantan. "Abah memang seorang pelukis, lingkungan lukis itu akrab banar  di rumahku waktu itu," tuturnya.

Meski memiliki ayah seorang pelukis, Rokhyat tidak pernah belajar secara khusus mengenai lukis. Ia menyebutnya sebagai: belajar sambil lewat. Ia lebih banyak melihat dan mengamati sang ayah melukis. Dari sanalah ia mengenali pola dan teknik dalam berkarya di atas kanvas. "Dulu Abah bekerja di koran Banjarmasin Post, sekaligus sebagai seorang pelukis. Kami sepedingsanakan (kumpulan saudara kandung) semuanya bisa melukis dengan melihat cara Abah melukis, tidak ada pengajaran khusus, sambil lewat saja," kata Rokhyat tersenyum.

Memasuki kelas enam sekolah dasar di Madrasah Diniyah Islamiyah Muhammadiyah, Rokhyat mengawali debut kompetisi lukisnya. Ia langsung menjadi juara lukis se-Banjarmasin Timur. Pengalaman menjadi juara berlanjut saat SMP Negeri 6 Banjarmasin bahkan saat di SMA PGRI 2 Banjarmasin ia masuk 10 pelukis terbaik se-Kalimantan untuk pelajar.

Bakat, pengalaman juara dan karya-karyanya itu ternyata tidak serta merta memudahkan jalannya untuk bisa berkuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) --sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI)-- di Yogyakarta. Dalam hatinya, Rokhyat ingin betul menimba ilmu di Yogyakarta. Sang Ayah saat itu menginginkan dirinya berkuliah di kampung halaman saja, di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

"Karena Abah adalah seorang seniman, beliau mungkin paham betul bagaimana kehidupan seorang seniman dan bagaimana pergaulan anaknya jika kuliah di ASRI waktu itu. Sehingga Abah ingin aku kuliah di Unlam (sekarang ULM) saja," ujar ia.

Karena terlalu ingin melanjutkan ilmu seni ke Yogyakarta, Rokhyat menjelaskan, sempat menjawab tes masuk mahasiswa Unlam dengan sembarangan agar ia tidak lulus dalam tes tersebut. "Saat itu menjawab soal menggunakan pensil, jadi aku gosok-gosok lembar jawaban itu hingga tak karuan," tambahnya lagi sambil tertawa lepas.

Rokhyat pun menjalankan strategi selanjutnya. Walhasil, karena menjawab tes masuk Unlam dengan sembarangan, ia tak masuk dalam universitas tertua di Kalimantan itu. Ia menceritakan, sudah terlalu jengah dengan sekolah sejak SD hingga SMA. Kalaupun berkuliah, ia ingin kuliah yang memang bisa menjawab kehausannya akan ilmu seni, khususnya seni rupa yang ia sukai. 

Selama setahun ia menganggur, pergi malam pulang pagi, sisanya ia manfaatkan untuk istirahat. Kedua orangtuanya mengira, anaknya ini mungkin frustasi karena tak kesampaian kuliah ke Yogyakarta. Padahal, sebenarnya, Rokhyat begadang hampir tiap malam selama setahun itu karena bekerja di sebuah percetakan sablon. 

Uang hasil bekerja itu, ia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk bisa kuliah di Yogyakarta. Melihatnya seperti itu, orangtua Rokhyat pun khawatir dan akhirnya luluh. Ayahnya kemudian bertanya kepada Rokhyat, apakah ia masih punya minat untuk berkuliah di Yogyakarta? "Jelas saja saat itu aku mengiyakan," jelasnya.

Rokhyat juga sempat bekerja di Banjarmasin Post sebagai wartawan hingga kemudian merantau ke Yogyakarta. Berbekal restu dari Abah itulah pada tahun 1985, Rokhyat memulai perjalanan ilmu seninya di Yogyakarta. Ia akhirnya diterima di ASRI Yogyakarta pada jurusan seni murni, khususnya mempelajari tentang grafis.

Pada kehidupannya di Jogja inilah, Rokhyat benar-benar mengembangkan kemampuan melukisnya dan berkarya dengan sungguh-sungguh. Ia juga sempat belajar dengan pelukis super realis Indonesia yang juga asal Kalsel, yaitu M Ifansyah yang dikenal sangat berdisiplin dalam karya-karyanya.

Titik Terendah

Sebagai seorang seniman murni, Rokhyat juga pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Ia menceritakan, setelah lama hidup di Yogyakarta, pada tahun 1997 ia memutuskan untuk menikah. 

Ia sangat bersyukur, memiliki istri yang sangat sabar dan hampir tak pernah mengeluh perihal suaminya yang merupakan seorang seniman murni. Kehidupan itu terasa sangat sulit. "Bayangkan saja, sebagai seniman murni, lukisan kadang ada yang membeli ada yang tidak. Sekali terjual, nanti baru tiga bulan atau berbulan-bulan lagi akan ada yang membeli," tuturnya.

Rokhyat pun sempat mencoba beberapa usaha, namun, lagi-lagi karena memang jiwanya adalah seorang seniman, tak ada satu pun yang cocok baginya. Dalam kondisi perekonomian yang sulit itu, ia dan keluarganya sempat membagi satu telur dadar dibagi empat untuk makan sehari-hari selama bertahun-tahun pula. "Aku bersyukur sekali istri dan anak-anak tidak mengeluh dengan keadaan itu," kata ia.

Suatu saat, Rokhyat, memiliki kondisi keuangan yang cukup baik karena karyanya mulai dikenal dan terjual dengan nilai yang tidak bisa dibilang sedikit. Menurutnya, kondisi saat sulit ataupun saat memiliki keuangan berlimpah, ia merasa sama saja. Sehingga waktu itu ia meminta anak dan istrinya, menikmati hasil jerih payahnya tersebut dengan apa yang ia mau. Menurutnya, anak dan istrinya sudah terlampau lama merasakan hidup susah bersamanya, meskipun tiada juga mereka mengeluhkannya.

Ornamen Simbolik, Dekoratif dan Kehidupan 

Rokhyat menyebut, lukisan-lukisannya tersebut kental dengan ornamen. Dekoratif yang kompleks dengan pemilihan warna yang juga kompleks namun padu dan estetis. Ia menjelaskan, dalam melukis, ia memegang sebuah nilai, bahwa melukis itu sama dengan perjalanan kehidupan manusia.

Manusia akan berhadapan dengan satu masalah ke masalah lainnya dan itu harus diselesaikan sesuaikan dengan kapasitas diri manusia tersebut. Begitu juga dengan lukisannya. Ia ingin menuangkan berbagai pengendapan-pengendapan yang ada pada dirinya, berupa hasil dari pengalaman, emosi dan lingkungan yang ia lihat, dengar, rasakan dan alami.

Baginya melukis itu ibarat berhadapan dengan masalah-masalah dan kita menyelesaikannya satu per satu. "Membuat kerangka kanvas adalah satu masalah, lalu ketika sudah jadi kanvas, menggores satu warna pertama saja sudah masalah lain lagi, hingga kita bisa menyelesaikannya sampai selesai, itulah kehidupan manusia," urai Rokhyat.

Penulis juga diajak melihat beberapa lukisan karyanya. Salah satunya adalah lukisan yang berjudul Kembalikan Anting Nini. Dalam lukisan tersebut terlihat wajah seorang nenek dari suku Dayak yang kumpulan antingnya hilang di telinga kanannya. Lewat lukisan itu Rokhyat ingin menyampaikan bahwa bumi Indonesia sudah seharusnya dijaga kelestariannya oleh eksploitasi sumber daya alam yang membabi buta. Mereka yang merampas sumber daya alam untuk memperkaya diri itu digambarkannya mencuri anting nini pada lukisan tersebut.

Teknik lukis Rokhyat pun boleh dibilang rumit, pada kesempatan lain ia bereksperimen dengan cat yang ia racik sendiri, yang jika terkena sinar ultraviolet akan menyala dengan sendirinya. "Alat untuk melukisnya pun khusus kalau dengan bahan UV yang seperti itu," jelasnya.

Kembali ke Kampung

Setelah sekian lama bergulat dengan dunia seni di Yogyakarta, pada kisaran enam tahun belakangan ia sempat menghasilkan sekitar 1.500 lukisan yang dikirim ke Jepang. Lukisan tersebut adalah pesanan dari kolektor murni dari Jepang. Dua orang kolektor yang begitu jatuh cinta dengan gaya lukis Rokhyat. 

"Jepang untuk urusan seni memang dikenal "rakus" dan 1.500 lukisan itu ia nikmati sebagai koleksi, bukan kemudian dikoleksi kemudian dijual kembali," tegasnya.

Lukisan tersebut dikerjakannya mulai 2016 hingga 2020, dan bertahap dikirim ke Kumamoto, Kyushu, Jepang. Dua kolektor itu bernama Nishida dan Suhei. Tahun 2022, Rokhyat memilih kembali ke kampung halaman di Kalimantan Selatan. Kini ia menetap di Gudang Hirang, Kabupaten Banjar. Meski ia belum tau, apakah akan menetap lama di sini atau nanti akan kembali lagi ke Jogja. 

Ia berpesan kepada para generasi muda perupa, agar menikmati berkesenian dengan nikmat. Jika berkesenian dijadikan sebagai penopang hidup, menurutnya akan sulit untuk menikmatinya. "Jangan jadikan berkesenian itu sebagai penopang hidup," sebutnya. (sip/bbcom)




Posting Komentar

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner