Kitab Sabilal Muhtadin, Karya Fenomenal Anak Banua | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Jumat, 24 April 2015

Kitab Sabilal Muhtadin, Karya Fenomenal Anak Banua

Sabilal Muhtadin atau Sabilal Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amriddin (yang artinya dalam terjemahan bebas adalah Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama), adalah salah satu kitab yang sangat masyhur karangan Syaikh Muhammad Arsyad al Banjary.

Kitab yang ditulis pada tahun 1779 M (1193 H) pada zaman pemerintahan Sultan Tamjidullah ini merupakan kitab yang menerangkan ilmu fikih dalam Madzhab Syafi'i. dan seluruh uraiannya diambil dari berbagai kitab yang dikarang oleh ulama madzhab Syafi'i, seperti: Syarah Minhaj oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Al Mugni oleh Syekh Khatib Syrabaini, At Tuhfah oleh Syekh Ibnu Hajar Al Haitami, An Nihayah oleh Syekh Jamal oleh Syekh Ramli dan beberapa buah matan, syarah dan komentar lainnya.

SABILAL MUHTADIN KINI JUGA MENJADI NAMA MASJID KEBANGGAAN KALSEL
Kitab ini membicarakan segala hukum agama Islam yang berhubungan dengan muammalat. Penulis kitab ini adalah seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad seorang putra daerah Kalimantan Selatan, karena itu biasa disebut Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang hidup pada abad ke 18 yang lalu.

Kitab Fiqh ini ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah pada tahun 1193 Hijriah bertepatan tahun 1779 Masehi. Penulisan kitab ini selama kurang lebih dua tahun.
Mungkin timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan Sultan Tahmidullah meminta Syekh
Muhammad Arsyad menulis kitab Fiqh tersebut. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dikemukakan:
1. Kitab-kitab agama yang digunakan dalam pengajian-pengajian pada waktu itu umumnya
menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab yang tadinya dibawa sendiri oleh Syekh Muhammad
Arsyad dari Mekah. Kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab ini dikenal dengan istilah "Kitab
Kuning". Penggunaan kitab-kitab Kuning ini dalam pengajian-pengajian tentu saja menemui kesulitan-kesulitan, karena untuk mengerti isinya oleh lebih dahulu mengerti bahasa Arab.
2. Keadaan alam Kalimantan Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya, mempunyai kehidupan fauna dan flora yang berbeda sekali dengan alam negeri Arab. Sesuatu yang mungkin hidup atau ada di Kalimantan Selatan atau Indonesia ini mungkin tidak hidup dan tidak terdapat di tanah Arab. Dan demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan menggunakan kitab-kitab Fiqh yang berasal dari negeri Arab saja, mungkin akan menimbulkan perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu yang hanya ada ditemukan di daerah Kalimantan Selatan atau di Indonesia.
3. Karena Islam yang dianut dan berkembang di daerah Kerajaan Banjar dahulu itu adalah faham Ahlussunnah wal Jamaah mazhab Imam Syafii, maka perlu ada sebuah kita Fiqh yang tinjauan masalah-masalahnya khusus menurut faham tersebut.

Sebenarnya pada waktu itu sudah ada sebuah kitab Fiqh berbahasa Melayu di daerah ini. Kitab Fiqh itu bernama Kitab Siratul Mustaqim karangan Nuruddin Ar Raniry, seorang ulama besar dari Aceh. Kitab ini ditulis antara tahun 1044 - 1054 Hijriah atau tahun 1634 – 1644 Masehi. Penggunaan kitab ini dalam pengajian-pengajian mungkin masih ada kekurangan dan keberatannya. Karena faktor waktu dan geografi dalam penulisan sebuah kitab Fiqh menentukan isi dari kitab itu. Sebab menurut Prof. T.M. Hasby Ash Shiddieqy dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh, bahwa Fiqh Islami yang kita kenal sekarang ini tidak tumbuh sekaligus, dia tumbuh beransur-ansur beranjak dari setahap demi setahap, sehingga sampai kepada kesempurnaannya (hal. 17). 

Faktor waktu dan faktor tempat inilah yang dapat dijadikan alasan sehingga masalah-masalah Fiqh yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad dalam kitab Sabilal Muhtadin lebih banyak tiga kali dari kitab Siratul Mustaqim. Sehubungan dengan hal ini Syekh Muhammad Arsyad sendiri menulis dalam Mukaddimah dari kitabnya bahwa:
a. Lebih dahulu dari kitabnya itu telah ada sebuah kitab Fiqh atas mazhab Imam Syafii bernama Siratul Mustaqim yang ditulis oleh seorang alim yang lebih bernama Nuruddin Arraniry.
b. Akan tetapi karena sebagian ibaratnya mengandung bahasa Aceh, maka sulit bagi orang-orang yang bukan ahlinya untuk mengambil pengertiannya.
c. Lagi pula ada sebagian dari ibaratnya yang diubahkan dari pada asalnya dan digantikan dengan yang lainnya atau gugur dan kurang disebabkan kelalaian penyalin-penyalinnya yang tidak berpengatahuan sehingga menjadi rusak dan berselisihan antara naskah-naskah dan ibaratnya, sehingga hampir tidak diperoleh lagi naskah-naskah yang saheh dari penulisnya (Sabilal Muhtadin hal. 3).

Kitab Sabilal Muhtadin tersebut terdiri atas 2 (dua) juz. Juz pertama tebalnya 252 (dua ratus lima puluh dua) halaman, dan juz kedua tebalnya 272 (dua ratus tujuh puluh dua) halaman. Kedua juz ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bahkan ada topik yang dibicarakan pada akhir juz pertama diselesaikan pembahasannya pada juz kedua.
Pembagian isi dalam Sabilal Muhtadin ini dinyatakan dengan istilah kitab-kitab. Keseluruhannya ada 8 (delapan) kitab, yaitu:
1. Kitabut Taharah, yakni suatu kitab yang menyatakan tentang bersuci.
2. Kitabus Shalat, yakni kitab yang menyatakan tentang shalat.
3. Kitabuz Zakat, yakni kitab yang menyatakan hukum zakat.
4. Kitabus Siam, yakni kitab yang menyatakan puasa.
5. Kitabul I'tikaf, yakni kitab yang menyatakan i'tikaf atau berhenti di dalam masjid.
6. Kitabul Haji wal Umrah, yakni kitab pada menyatakan haji dan umrah.
7. Kitabus Shaid wadz Dzabaih, yakni kitab pada menyatakan hukum binatang perburuan dan sekalian yang disembelih.
8. Kitabul Ith'amah, yakni kitab pada menyatakan barang yang halal dan barang yang haram memakannya.

Dalam beberapa tulisan tentang kehidupan ulama besar dari daerah Kalimantan Selatan ini, disebutkan bahwa penyebaran Kitab Sabilal Muhtadin tersebut dimulai dari ruang pengajian Syekh Muhammad Arsyad sendiri di Kampung Dalam Pagar (sebuah kampung di Martapura), yakni dengan mengadakan salin menyalin dari naskah aslinya oleh murid-murid Syehk Muhammad Arsyad sendiri. Kemudian naskah itu dibawa orang ke Mekkah, di sana dilakukan salin-menyalin pula, bahkan kemudian dijadikan orang kitab pelajaran Fiqh bagi orang yang berbahasa Melayu, sehingga kitab ini dikenal luas oleh penuntut-penuntut ilmu di Mekkah yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Mereka itulah yang kemudian mengajarkannya pula di negeri mereka kemudian.

Kitab Sabilal Muhtadin dicetak pertama kali pada tahun 1300 Hijriah atau tahun 1882 Masehi serentak di tiga tempat, yakni di Mekkah, Istambul dan Mesir, dengan pentasheh Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al Fatany, ulama asal Fatani (Thailand) yang mengajar di Mekkah pada waktu itu. Dengan adanya cetakan ini maka Sabilal Muhtadin lebih tersiar dan terkenal luas di Asia Tenggara. Bahkan menurut keterangan penuntut-penuntut ilmu di Mekkah sampai waktu itu masih banyak yang mempelajari Sabilal Muhtadin sebelum mereka dapat membaca kitab berbahasa Arab.

Sebagai penghormatan dan kebanggaan umat Islam di daerah ini terhadap ulama besar Syekh Muhamad Arsyad dengan salah satu karyanya Kitab Fiqh Sabilal Muhtadin, tahun 1974 telah dirintis berdirinya sebuah masjid kebanggaan di pusat kota Banjarmasin yang diberi nama Sabilal Muhtadin. Dan Alhamdulillah masjid ini sekarang sudah menjadi pusat pendidikan generasi muda Islam serta berperan sebagai tempat pengembangan ajaran Islam pada umumnya.

Akhirnya, mudah-mudahan saat ini khususnya kaum Muslimin di daerah Kalimantan Selatan, tidak hanya berbangga dengan masjid megah bernama Sabilal Muhtadin, tetapi diharapkan bisa mengkaji kaedah-kaedah yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad dalam kitabnya Sabilal Muhtadin, dan mengamalkannya. Semoga. (HRN, Peneliti Sejarah dan Nilai tradissional).


Sumber:
1.Wikipedia
2.http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/01/sabilal-muhtadin.html

Posting Komentar

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner