Mendobrak Sentralitas Seni Pertunjukan Banua | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Rabu, 21 Februari 2018

Mendobrak Sentralitas Seni Pertunjukan Banua

Mendobrak Sentralitas Seni Pertunjukan Banua
BBCom, Oleh Novyandi Saputra, S. Pd, M. Sn*) 
(Novyandi Saputra, Ilustrasi oleh Zulfian/beritabanjarmasin.com)
“Sebuah tradisi tanpa inovasi seperti mayat hidup sedangkan inovasi tanpa tradisi seperti kumpulan domba tanpa gembala.” Sal Murgianto. 

Seni pertunjukan menjadi salah satu ruang hiburan bagi sebagian masyarakat. Musik, tari, drama, pameran seni rupa ataupun seni media baru semacam film dengan berbagai macam genre atau format kolaborasi menjadi salah satu tujuan hiburan kehidupan masyarakat urban di kota-kota besar di Kalimantan Selatan seperti Banjarmasin dan Banjarbaru. 

Tumbuh kembang seni pertunjukan tersebut memang sangat bergantung pada kesuburan masyarakat untuk menonton karya-karya seni yang dipertunjukan. Menurut Seodarsono (2003 : 1), bahwa seni pertunjukan adalah salah satu cabang seni yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat. Seni pertunjukan sebagai seni yang hilang dalam waktu karena hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang di pertunjukkan. 

Di Kalimantan Selatan sendiri, gedung pertunjukan yang representatif terhadap pertunjukan seni praktis hanya ada di Taman Budaya Kalimantan Selatan. Kata representatif tersebut merujuk pada kondisi, fungsi, dan kelengkapan peralatan teknis dan artistik untuk merealisasikan dan mendukung pertunjukan karya-karya seniman. Ruang seperti Balairung Sari TBKS saja secara kontinu selalu penuh menggelar karya-karya seni seniman, kelompok seni, dan kelompok seni Mahasiswa atau siswa sekolah. Hal ini belum ditambah dengan program dari Taman Budaya itu sendiri. 

Sentralisasi yang terbentuk ini dipicu juga karena tidak ada dan belum menjamurnya seniman yang memiliki ruang kreatif sendiri. Di Kalimantan Selatan dan secara khusus di Banjarmasin, seniman lebih menyenangi mementaskan karyanya di gedung Balairung Sari. Ini menjadi sebuah keharusan tersendiri sebagai legetimasi bahwa karya yang dipentaskan di Balairung Sari tersebut menjadi salah satu karya yang baik. 

Sudut pandang semacam ini bertahan dan selalu mampu terbawa generasi setelahnya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah sebuah karya seni harus selalu dipertunjukan dalam ruang yang konvensional seperti Balairung Sari ? Yang mengesankan ke ekslusifan khas eropa dengan tata panggung tapal kuda-nya. Persoalan ini sebenarnya adalah hasil dari pewarisan masa kolonial. 

Bagaimana sebuah pertunjukan seni dikelola dan disentralkan pada sebuah tempat dengan memisahkan jarak antara pengkarya dan penonton. Kebiasaan seperti kemudian mampu membentuk sikap borjuis para seniman itu sendiri. 

Kita semua yang bergerak dalam bidang pertunjukan sudah selayaknya berani membuka ruang-ruang alternative yang menjadi ruang temu seniman-karya-penonton. Ruang alternatif akan mampu memberikan warna pembacaan yang baru yang bersifat dinamis. Tentu saja efek jangka panjanganya adalah akan buyarnya sentralisasi ruang seni pada Taman Budaya dan menyebar menjadi bagian ekosistem seni pertunjukan yang subur. 

Tumbuh kembang seni pertunjukan tentu saja ditentukan oleh dua sisi. Sisi yang pertama adalah seniman yang membuat karya dan sisi yang kedua adalah penonton yang datang menyaksikan karya tersebut. Pada era sekarang karya-karya dalam seni pertunjukan bukan lagi sekedar membicarakan teknis, namun lebih pada pembentukan wacana yang berdampak dialektis panjang. 

Kenyataannya di Kalimantan Selatan sendiri, karya-karya seni yang tercipta dalam ruang seni pertunjukan hanya berada pada tataran euphoria pragmatis. Euphoria pragmatis disini adalah karya tidak mampu berbicara banyak pada lintas perspektif, karya seni hanya dibuat sebagai sebuah bentuk kerja seni, bukan berada pada tataran memberikan dan melahirkan wacana. 

Tentu saja untuk membentuk karya semacam itu yang mampu memberikan dampak yang besar harus berada pada proses yang panjang dan dalam perenungan yang besar. 

Sedangkan pada sisi penonton, para seniman dan seabrek manajemennya perlu bekerjasama mencerdasakan penonton. Bagaimana membentuk sebuah penghargaan terhadap karya, keseriusan, dan mampu melahirkan kritk-kritik karya tersebut. 

Keadaan sekarang juga terbaca bahwa penonton seni pertunjukan kita berada pada masa pengekor dan terjebak euphoria pragmatis. Sehingga penonton kita hanya membicarakan karya pada saat pertunjukan itu berlangsung dan setelah selesai, itupun hanya berada pada tataran teknis saja. Penonton kita mayoritas belum mampu membaca makna esensial sebuah karya seni. 

Persoalan pakem pada ruang pertunjukan kita harus mulai difikirkan ulang. Pakem harus dipandang sebagai sesuatu yang dihormati, bukan sekedar pemberhentian yang membuat kita stagnan dalam melakukan pembacaan wacana kekaryaan. Pakem menjadi sebuah platform yang melahirkan esensi-esensi konsep karya. 

Seniman yang seperti ini tentu saja akan berada pada jalur yang berbeda. Namun tanpa melakukan pergerakan yang nyata untuk memberikan dampak sosial dan kultural terhadap masyarakat yang lebih luas. 

Membangun seni pertunjukan juga tidak hanya membentuk estetik dan artistik namun juga bagaimana seniman mampu mengelola hal-hal ekstra sepert pskologis. Mengapa demikian? Hal ini berkaitan dengan banyaknya pengulangan-pengulangan pertunjukan dengan naskah yang pada seni teater misalnya, membuat penoton akan merasa sangat puas dalam sekali penonton dan wacana yang dibawa penonton adalah hal yang sama. 

Sedangkan dalam ruang musik misalnya, terjadi repetisi pada ruang aransemen, bukan menawarkan khasanah baru yang berada pada ruang konseptual sehingga mampu menciptakan ide-ide yang berkaitan antara seniman-karya-penonton. 

Menumbuh kembangkan seni pertunjukan harus dilakukan berasama-sama secara estafet. Kelindan keilmuan dan ruang diskusi harus menjadi fase-fase baru yang dilibatkan. Karya seni dalam ruang pertunjukan tidak hanya membicarakan pakem secara teknis namun mulai menempatkan pakem dalam konteks yang esensial. Tentu saja hanya seniman- seniman yang punya idealiasme akan bergerak menciptkan wacana-wacana karya baru yang mempertemukan ruang dialektis antara seniman dan penontonnya.

*)Direktur NSA Project Movement 

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner