Ini Surat Terbuka untuk Kepala LPMP Kalsel Dari Alumni FKIP Unlam | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Selasa, 24 Mei 2016

Ini Surat Terbuka untuk Kepala LPMP Kalsel Dari Alumni FKIP Unlam

BANJARMASIN - Belakangan para alumni FKIP Unlam dan guru honorer di seluruh Kalsel menyorot pernyataan dari Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan, di salah satu media massa di Kalsel. Hal ini kemudian menyulut salah seorang alumni FKIP Unlam yang juga mantan Ketua BEM FKIP Unlam membuat surat terbuka di jejaring sosial facebook, Selasa (24/5/2016) Berikut petikan surat terbuka tersebut.

Guru Honor : Antara kehormatan dan Upah Murah

*M Alpiannor

Hari itu Jum’at 20 mei 2016 serasa berbeda rasa dalam diri saya. Ya. berbeda  bukan hanya pada tanggal tersebut di hari peringatan kebangkitan Nasional, tapi berbeda karena saat itu mata saya tertuju pada salah satu statement di berita media massa yang menyebut guru honorer (yang diangkat sekolah) sadar diri.

Bukan hanya karena saya pernah merasakan menjadi guru honor sehingga saya tahu bagaimana rasanya, tetapi yang menjadi pembeda adalah statement dari bapak Abdul Kamil dalam menyikapi keluhan para guru honor terhadap gaji yang mereka terima. Kalo boleh saya pinjam istilah jurnalistik,  beliau merupakan ‘opinion leaders’ pada konteks dunia pendidikan. Bukan karena banyak massa nya, tapi karena posisinya sebagai Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) yang statementnya meminta para guru honorer itu untuk sadar diri.

Masih segar dalam ingatan, di bulan februari 2016, saat itu forum guru honor K2 melakukan unjuk rasa menuntut perbaikan nasib di Istana Negara mendesak agar di angkat oleh pemerintah menjadi PNS yang bahkan dalam 3 hari perjuangannya konon menyebabkan 5 orang guru honor meninggal dunia.

Kenyataan yang membuat kita miris terhadap apa yang terjadi, harus meregang nyawa pada saat memperjuangkan sesuatu untuk menyambung nyawa – upah layak-. Lalu bagaimana dengan nasib guru honor yang lain? yang bukan di gaji oleh pemerintah dari APBD nya atau pejabat berwenangnya?, bahkan hanya di gaji oleh sekolah tempat dia mengabdi? 

Pertanyaan yang tentunya bukan kita orang biasa yang harus menjawab dan menanggungnya. Bahkan ketika kasus yang mirip terjadi di Kalimantan Selatan  keluhan tentang minimnya gaji guru honor, malah ada terucap kata ‘ aneh ‘ dalam statementnya. 

‘aneh kenapa guru itu mau di angkat sekolah dengan gaji yang minim’ dan kata ‘sadar diri’ , meminta mereka para guru honor ‘sadar diri kemana harus mengadu’. Apakah dengan mereka menyuarakan apa yang menjadikan kegelisahan dengan apa yang mereka alami sekarang layak untuk mereka mendapatkan predikat aneh?

Atau harus dengan mengingatkan mereka dengan pilihan kata  ‘ lsadar diri’? Ahh statement yang membuat saya berasa nonton sinetron pada saat si kaya memaki si miskin saja

Guru Honorer ; KEHORMATAN atau UPAH

Mendengar istilah guru honor kembali mengingatkan saya akan apa yang di maksud dengan istilah tersebut. Apakah tersemat istilah itu hanya memperjelas dikotomi antara guru PNS  dan Guru Bukan PNS , atau Guru sejahtera dan  Guru upah minim ? Meskipun Keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab bersama ; mencerdaskan anak bangsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Honorer dapat di artikan (1) bersifat sebagai kehormatan, (2) bersifat menerima honorarium /upah tidak tetap.  Arti dari istilah ini membuat Interpretasi yang berbeda tergantung pada sudut pandang dan kepentingan yang menilainya. Apakah menjadi guru honorer adalah sebuah panggilan jiwa sekaligus tanggung jawab akademis dari seorang sarjana pendidikan untuk mengamalkan/mengajarkan  ilmu yang di dapatnya demi  mencerdaskan generasi bangsa? Sebuah cita-cita luhur dari anak bangsa untuk anak bangsa yang lain, sehingga adalah suatu KEHORMATAN dalam menjalaninya. Pantaslah slogan ‘PAHLAWAN TANPA TANDA JASA’ untuk di sandangnya.

Pertanyaannya kemudian , apakah dengan kehormatan ini kemudian cukup untuk diri sendiri , atau perlu juga di hormati , terlebih di hargai ? Pertarungannya ada di sana, antara jiwa besar dan keikhlasan sebagai pendidik, berhadapan dengan realitas hidup sesungguhnya dengan segala macam kompleksitasnya.

Jiwa zaman yang sudah berbeda dengan segala kebutuhan yang terus meningkat, menuntut para guru untuk kemudian realistis terhadap keadaannya, bahwa hidupnya tidak hanya untuk dirinya sendiri (kehormatannya) tetapi juga untuk orang-orang disekelilingnya (keluarganya) sehingga perasaan untuk di hormati, di hargai , di layakkan hidupnya menjadi ujung dari dedikasinya. Berharap slogan itu menjadi ‘PAHLAWAN TANPA TANDA JASA YANG SEJAHTERA’

Guru Honorer = Guru Upah –murah-

Pada suatu kesempatan di bulan nopember 2015, Menteri Agama Bapak Lukman Hakim Saifuddin di mintai komentarnya perihal guru honorer. Dalam statementnya beliau awali dengan meminta untuk kita tidak lagi menggunakan  istilah guru honorer , karena menurut beliau Guru merupakan Profesi yang mulia. Statement yang menyejukkan ,berangkat dari bagaimana beliau melihat kata GURU sehingga tidak lupa beliau muliakan karena memang untuk menyandangnya tidak hanya bermodalkan predikat akademis saja, tapi ada ilmu, ada keteladanan, ada kebesaran jiwa, yang menjadi batang tubuhnya. Namun kemudian ketika di sandingkan dengan kata HONORER = Upah murah / seadanya / semampunya / seikhlasnya-  , jadilah  GURU HONORER  adalah pekerjaan  mulia yang di tuntut bekerja mencerdaskan anak bangsa dengan kebesaran jiwa.

Yaa  kebesaran jiwa terhadap upah murah dan fasilitas seadanya. 
Apakah guru honorer adalah sebuah Profesi?  Apabila di lihat dari kata GURU, maka jelas itu adalah profesi, karena memang ada sekolahnya, ada tanggungjawab akademisnya, ada title yang di sandangnya  sehingga layaklah mereka di sebut professional dalam bidangnya. Namun kembali ketika di tambahkan kata Honorer yang di artikan sebagai upah yang tidak tetap bahkan cenderung murah, maka apakah pekerjaan itu layak di anggap Profesi ?  melihat dari kenyataan yang ada memang baru pantas di sebut upah , bukan gaji. Nilai yang bahkan lebih jauh dari upah pekerjaan yang tidak memerlukan skill khusus apalagi titel kesarjanaan untuk mendapatkannya.

Statement guru honorer harus sadar diri.
Kemudian harus sadar diri kemana harus menuntut kiranya juga harus di balance , apakah itu memang benar-benar pilihan mereka atau memang sudah tidak ada pilihan? Memang benar apa yang beliau sampaikan, tapi ini sudah tidak lagi menjadi fenomena namun sudah menjadi realitas, yang di perlukan respon dari para stakeholder  untuk menyikapinya. Bahwa ada komunitas disana yang memerlukan campur tangan untuk persoalan yang mereka hadapi, mereka adalah para pendidik, mereka adalah frontline dalam pembentukan kecerdasan  generasi bangsa, mereka  perlu problem solver terhadap apa yang menimpanya.

Cukuplah sudah apa yang mereka alami sekarang menjadi beban mereka , jangan di tambah dengan statement yang tendensius bahkan cenderung miring  sehingga membuat siapapun miris mendengar atau membacanya. Tidak bijak apabila hanya menyalahkan mereka saja , karena banyak hal yang terkait kenapa ini bisa terjadi. Kemampuan pemerintah dalam mengakomodir status pengajar, kebutuhan tenaga pengajar di sekolah, bahkan kepentingan perguruan tinggi pencetak para sarjana pendidikan juga berperan di dalamnya, bahkan lembaga yang saat ini di pimpin bapak Abdul Kamil pun memiliki kepentingan dalam hal ini. Tinggal apakah mau menghubung kaitkannya atau tidak? As simple as that.

Buat para calon pendidik, baik yang saat ini masih menempuh study ataupun yang baru memasuki  profesi ini , (mengajar). Ingat jadikan realitas ini sebagai pembelajaran untuk semua, bahwa SADAR DIRI itu perlu. Ini adalah dunia yang akan anda alami atau bahkan baru masuki, dunia yang belum seimbang antara supply and demandnya. Silakan untuk sadar diri dengan meningkatkan kompetensi anda untuk bersaing di luar sana. Pilihannya jelas, Bertahan sambil menunggu takdir sebagai PNS dengan segala konsekuensinya  atau mencoba tantangan baru dengan bertindak anti mainstream bahwa meskipun anda Sarjana Pendidikan  anda tidak perlu mempersempit sendiri takdir hidup anda dengan hanya jadi guru saja. Mari jadi ANEH ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan maka kita memutuskan jalan yang berbeda.

*Alumni Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Tinggal di Pontianak

Posting Komentar

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner